Kamis, 15 Oktober 2009
Selasa, 13 Oktober 2009
Latihan Biologi Sel
Perhatikan masing-masing teks soal!!
a.Buatlah minimal empat perbandingan pada gambar tersebut! (15)
b.Jelaskan tahap-tahap sintesis protein pada retikulum endoplasma kasar (20)
c.Bandingkan antara translokasi protein terlarut dan protein yang diperuntukkan untuk membran (10)
d.Tuliskan tahap-tahap sintesis lesitin dan enzim-enzim yang terlibat! (10)
Senin, 12 Oktober 2009
Tumbuhan Pacing
MENCIT(Mus musculus) ICR BETINA
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar
Mangostin
DAYA HAMBAT MANGOSTIN TERHADAP KEHAMILAN MENCIT
(Mus musculus) SWISS WEBSTER BETINA
PADA PERIODE PRA IMPLANTASI
Adnan*
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat mangostin terhadap kehamilan mencit (Mus musculus) Swiss Webster . Mangostin dilarutkan dalam minyak kacang dan disuntikkan secara sub kutan setiap hari pada umur kehamilan hari ke-1 s/d hari ke-4. Dosis mangostin yang digunakan adalah 10, 25, dan 50 mg/kg berat badan dan kontrol. Daya hambat mangostin terhadap kehamilan diamati pada umur kehamilan hari ke-10 dan hari ke-18. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah korpus luteum, jumlah implantasi, jumlah kematian pasca-implantasi dan jumlah fetus hidup. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap berat badan mencit. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan rumus tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mangostin dengan dosis 25 dan 50 mg/kg berat badan dapat meningkatkan persentase kehilangan gestasi, kematian pasca implantasi, dan. menurunkan jumlah implantasi dan fetus hidup. Dengan demikian mangostin memiliki kemampuan untuk menghambat atau mengganggu terjadinya kehamilan, khususnya pada periode pra-implantasi atau pada umur kehamilan hari ke-10 dan hari ke-18
*) Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengathauan Alam, Universitas Negeri Makassar,
Rimpang Tumbuhan Pacing
(Costus speciosus, J.E Smith) TERHADAP FERTILITAS
MENCIT(Mus musculus) ICR JANTAN
*) Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengathauan Alam, Universitas Negeri Makassar, Nomor Kontrak:030/P2IPT/DM/V/2000.
Sabtu, 10 Oktober 2009
PENGARUH EKSTRAK NORMAL HEKSAN RIMPANG TUMBUHAN PACING (Costus speciosus, J.E Smith) TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGI UTERUS MENCIT(Mus musculus)
PENGARUH EKSTRAK
(Costus speciosus, J.E Smith) TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGI UTERUS
MENCIT(Mus musculus)
Adnan
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak n-heksan rimpang tumbuhan pacing terhadap struktur histologi uterus mencit. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 4 kelompok perlakuan. Untuk kelompok kontrol tidak diberikan ekstrak rimpang tumbuhan pacing, sedangkan untuk 3 kelompok perlakuan masing-masing diberikan ekstrak n-heksan rimpang tumbuhan pacing dengan dosis 25, 50 dan 75 mg/kg berat badan. Jumlah mencit betina yang digunakan 20 ekor, setiap perlakuan tediri atas 5 ekor mencit. Ekstrak n-heksan rimpang tumbuhan pacing disuspensikan dalam CMC 0,1%. Pemberian ekstrak dilakukan secara oral dengan volume 0,5 cc/mencit selama 15 hari secara berturut-turut. Setelah 15 hari, mencit dari masing masing perlakuan dimatikan, dibedah, dan uterusnya diangkat unruk dibersihkan. Uterus dibersihkan dengan menggunakan NaCl fisiologis, dan selanjutnya dilakukan mikroteknik dengan menggunakan metode parafin. Uterus mencit disayat secara seri dengan ketebalan 7 um. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan pewarna hematoksilin-eosin (HE). Parameter yang diamati adalah tebal otot memanjang uterus, tebal otot melingkar uterus, tebal lamina propris, jumlah kelenjar endometrium, tinggi epitel lumen pada uterus, dan tebal epitel kubus pada kelenjar endometrium. Pengamatan dilaksanakan dengan menggunakan mikroskop cahaya merk Nikon, pembesaran 10 x 40 dengan teknik mikrometrik. Setiap mencit perlakuan diamati 10 preparat. Setiap preparat dimati sebanyak 5 kali bidang pandang. Data hasil pengamatan dianalisis secara infrensial dan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ekstrak rimpang tumbuhan pacing (Costus speciosus) pada dosis 25 dan 50 mg/kg bb menyebabkan tebal otot melingkar, tebal otot memanjang, tinggi epitel uterus dan tebal epitel kelenjar menurun, namun pada dosis 75 mg/kg berat badan menyebabkan tebal otot melingkar, tebal otot memanjang, tinggi epitel uterus dan tebal epitel kelenjar meningkat. Ekstrak n-heksan rimpang tumbuhan pacing tidak berpengaruh terhadap jumlah kelenjar endometrium dan tebal lamina propria.
Keyword: Pacing, Ektrak n-heksan, Histologi uterus
PENGARUH FITOSTEROL DAUN TUMBUHAN LAMUN (Enhalus acoroides) TERHADAP FUNGSI REPRODUKSI MENCIT(Mus musculus) ICR BETINA
PENGARUH FITOSTEROL DAUN TUMBUHAN LAMUN
(Enhalus acoroides) TERHADAP FUNGSI REPRODUKSI
MENCIT(Mus musculus) ICR BETINA
Adnan dan Muhammad Jasri Djangi
Jurusan Biologi/Kimia FMIPA Universitas Negeri Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fitosterol daun lamun terhadap fungsi reproduksi mencit betina Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fitosterosl daun tumbuhan lamun terhadap persentase kehilangan gestasi, implantasi, jumlah anak sekelahiran, fetus mati, embrio resorbsi, berat badan fetus, dan kelainan perkembangan pada mencit (Mus musculus) ICR betina bila diberikan 5 hari selama periode pra implantasi. Disain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri 4 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diberikan CMC 0,5%, sedangkan untuk kelompok perlakuan diberikan fitosterol daun tumbuhan lamun dengan dosis 25, 50, dan 75 mg/kg bb. Pemberian fitosterol dilakukan secara oral dengan volume 0,5 ml per mencit selama 5 hari pada periode pra implantasi. Pada hari ke -18, masing-masing mencit pada setiap kelompok dimatikan dengan cara dislokasi leher dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah korpus lutem, jumlah implantasi, jumlah kehilangan gestasi, jumlah anak sekelahiran, jumlah fetus mati, jumlah embrio resorbsi, berat badan fetus, dan kelainan eksternal bila ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian fitosterol daun tumbuhan lamun selama 5 hari (periode pra implantasi) dengan dosis 25, 50, dan 75 mg /kg bb secara statistik dengan uji F α 0,05 yang dilanjutkan dengan uji BNT α 0,05 menyebabkan persentase kehilangan gestasi meningkat, persentase implantasi menurun, jumlah anak sekelahiran menurun, persentase kematian fetus dan embrio resorbsi menurun. Beradasarkan hasis analisis data dapat disimpulkan bahwa fitosterol daun tumbuhan lamun mengganggu fungsi reproduksi mencit betina.
Kekebalan Tubuh
KEKEBALAN TUBUH
Adnan, Biologi FMIPA UNM
A. Pengertian
Untuk kelangsungan hidupnya, manusia dan hewan dilengkapi dengan sistem pertahanan tubuh yang lazim dikenal dengan sistem imun. Sistem imun berperan agar tubuh manusia senantiasa berada dalam kondisi yang seimbang. Keadaan yang seimbang tersebut dipengarugi oleh banyak faktor dan salah satu diantaranya adalah kekebalan (imunitas) terhadap penyakit. Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk mengenal suatu zat sebagai sesuatu yang asing terhadap dirinya dan selanjutnya tubuh akan mengadakan tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme dengan akibat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Jadi imunitas dapat bersifat menguntungkan atau merugikan. Tindakan yang dilakukan oleh tubuh terhadap sesuatu zat asing disebut respon imun. Respon imun adalah kemampuan tubuh untuk mengenali apakah suatu zat asing atau tidak asing terhadap dirinya.
Secara umum respon imun memiliki tiga fungsi, yaitu: pertahanan, homeostasis, dan perondaan. Bila tubuh diinvasi oleh mikroorganisme dan berbagai parasit, tergantung pada hasil perlawanan antara dua puhak yang berhadapan. Bila pihak penyerang yang menang, maka tubuh akan sakit. Dalam usaha memperoleh keseimbangan, terjadilah degradasi dan katabolisme yang bersifat normal agar unsure seluler yang telah dirusak dapat dibersihkan dari tubuh. Misalnya pembersihan leukosit dan eritrosit yang telah habis masa hidupnya. Fungsi perondaan di dalam tubuh ditujukan untuk memantau pengenalan terhadap sel-sel yang berubah menjadi abnormal melalui mutasi. Bila fungsi ini gagal dapat menyebabkan pertumbuhan yang bersifat ganas.
B. Antigen (Imunogen) dan Antibodi.
Imunogenisitas merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menyebabkan induksi suati respon imun oleh tubuh, baik secara seluler maupun secara humoral. Zat-zat yang memiliki potensi tersebut dinamakan antigen. Antigen yang kuat yaitu antigen yang dapat menimbulkan respon imun yang nyata. Umumnya antigen berbentuk sebagai makromolekul protein, namun beberapa dalam bentuk polisakarida. Hanya bagian tertentu dari molekul antigen yang terlibat dengan ikatan antibody. Bagian tersebut dinamakan determinan antigenic atau epitop. Bagian tersebut menentukan spesifisitas reaksi antigen antibody dan penentu terhadap timbulnya antigen.
Imuniglobulin merupakan molekul protein yang memiliki aktivitas antibody, yaitu suatu kemampuan mengikat secara spesifik dengan subtansi yang membangkitkan respon imun (antigen), sehingga dihasilkan immunoglobulin. Imunoglobulin berfungsi sebagai antibody dan dapat mengikat reseptor pada membrane mastosit sehingga timbul degranulasi yang dapat menimbulkan gejala alergi.
C. Komponen Sistem Imun
Sistem imun terdiri atas komponen genetik, molekuler dan seluler. Komponen genetik berupa gen-gen yang mampu menghasilkan sejumlah antibodi, komponen molekuler berupa zat-zat yang dihasilkan, misalnya berbagai jenis antibodi, dan komponen seluler terutama berupa makrofag dan limfosit (limfosit T dan B). Makrofag merupakan sel-sel fagositosis yang dibentuk dari monosit dan memiliki kemampuan untuk memasuki jaringan lain. Perkembangan sel-sel limfoid berbeda dengan sel-sel darah lainnya. Limfosit T berkembang dari hemositoblas pada sum-sum tulang dan selanjutnya meneruskan perkembangannya di dalam kelenjar timus. Limfosit B dibentuk pada bursa fabricius untuk keluarga burung dan dalam jaringan tertentu yang setara dengan bursa fabricius untuk vertebrata lainnya.
Dalam sistem imun, makrofag, selain memiliki kemampuan fagositosis, juga berfungsi: (i) menyajikan antigen pada limfosit pada respon imun adaptif, (ii) menentukan jenis limfosit T yang akan mendapat stimulasi oleh berbagai antigen agar limfosit dapat berfungsi, (iii) menghasilkan beberapa mediator aktif yang dapat mengatur jenis dan besarnya respon imun yang dilaksanakan oleh limfosit dengan cara mendorong atau menghambat pembelahan dan diferensiasi sel, dan (iv) memproses antigen, karena makrofag merupakan jenis sel utama dalam system fagosit.
D. Respon Tubuh Terhadap Antigen
Zat asing (antigen) yang berada di dalam tubuh dapat bersumber dari dalam tubuh sendiri atau dari luar tubuh. Zat asing tersebut dapat berupa molekul bebas, mikroorganisme, parasit atau dalam bentuk sel-sel jaringan tubuh. Walapupun zat tersebut berasal dari dalam tubuh, namun apabila dikenal sebagai zat asing, maka tubuh akan mengambil tindakan, tetapi sebaliknya walaupun zat tersebut berasal dari luar tubuh, tetapi tubuh mengenalnya sebagai sesuatu yang tidak asing, maka tubuh tidak melakukan tindakan. Keadaan ini dikenal dengan nama toleransi imunogenik. Semua vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda-benda dan zat asing karena tubuh vertebrata memiliki sel-sel khusus yang bertugas untuk mengenali dan membedakan apakah zat asing tersebut asing atau milik diri. Sel-sel khusus yang dimaksud adalah limfosit dan zat asing tersebut dunamakan antigen atau imunogen, sedangkan proses yang menyertainya dinamakan respon imun. Kemungkinan aktivitas tubuh terhadap antigen ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Kemungkinan aktivitas tubuh terhadap antigen.
Gambar 1 menunjukkan bahwa respon imun terdiri dari dua jenis, yaitu respon imun alamiah yang bersifat tidak spesifik dan respon imun adaptif yang bersifat spesifik. Tanggapan pertama yang berlangsung apabila tubuh menghadapi antigen biasanya dalam bentuk respon imun alamiah yang tidak spesifik. Biasanya tubuh menyediakan sejumlah subtansi yang tidak spesifik untuk menanggulanginya, misalnya sejumlah enzim dan interferon sebagai perangkat dalam mekanisme efektor humoral. Sedangkan mekanisme efektor seluler dslsm respon imun alamiah melibatkan sel-sel fagositosis seperti netrofil dan makrofag. Proses fagositosis ini dapat berdiri sendiri atau merupakan bagian dari reaksi radang.
Mekanisme efektor dalam respon imun adaptif yang bersifat spesifik dilaksanakan melalui dua cara yang berbeda, yaitu: (i) imunitas humoral yang menggunakan subtansi-subtansi berbentuk globulin yang dinamakan antibody. Anti bodi ini bersifat sangat spesifik, dan (ii) imunitas seluleryang melibatkan jenis limfosit yang dinamakan limfosit T. Respon imun adaptif bersifat spesifik, heterogen, dan memiliki daya ingat atau memori. Spesifik artinya membutuhkan berbagai populasi sel atau zat yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu dengan yang lain sehingga menimbulkan sifat heterogenitas tadi. Misalnya untuk menghadapi virus hepatitis tubuh akan mengerahkan antibodi dan sel-sel limfosit yang berbeda bilamana tubuh menghadapi virus folio, virus rabies atau virus flu burung.
1. Respon Imun Alamiah
Tanggapan pertama yang berlangsung apabila tubuh menghadapi antigen biasanya dalam bentuk respon imun alamiah yang tidak spesifik. Mekanisme tersebut terdiri atas mobilisasi unsure-unsur fagositik ke dalam daerah tempat beradanya antigen atau merupakan bagian dari reaksi radang dan disusul terjadinya kerusakan jaringan. Pada saat itu terjadi peristiwa seluler sebagai usaha tubuh untuk melakukan proses penyembuhan dan mempertahankan agar tubuh tetap dalam kondisi seimbang. Sel-sel fagositik berkumpul dan mengadakan penyergapan dengan cara fagositosis. Taha-tahap fagositosis adalah pengenalan materi yang akan dimangsa, gerakan menuju sasaran yang berlangsung secara kemotaksis, perlekatan terhadap sasaran dan penelanan oleh sel. Didalam sel, materi yang ditelan dicerna oleh berbagai enzim pencerna. Peristiwa ini merupakan mekanisme seluler dalam respon imun alami. Sedangkan mekanisme humoral melibatkan beberapa enzim dalam cairan tubuh, komplemen, interferon yang bersifat tidak spesifik.
2. Respon Imun Adaptif
Respon imun adaptif yang bersifat spesifik dimulai dengan proses pengenalan antigenyang dijumpai dan berakhir dengan melenyapkan antigen dengan cara yang rumit. Dapat pula terjadi tubuh tidak menunjukkan respon terhadap suatu antigen oleh karena yang dihadapinya dikenalnya sebagai sesuatu yang tidak asing. Keadaan ini dinamakan toleransi imunogenik. Apabila terjadi trangsangan imunogenik maka sel-sel limfosit B dan T mengalami serangkaian perubahan. Pada respon imum adaptif paling tidak melibatkan tiga jenis sel, yaitu makrofag, limfosit B dan limfosit T. Sel makrofag bertindak sebagai sel pelengkap. Awal rentetan perubahan dinamakan lengan aferen, sedangkan rentetan pada ujung akhir dinamakan lengan eferen. Perubahan-perubahan yang terjadi pada limfosit T dan B tidak banyak berbeda kecuali pada akhir proses.
Bila limfosit mengenali antigen sebagai asing oleh reseptornya, mulailah terjadi perubahan yang semula berada pada tahap istirahat. Limfosit B menghasilkan sel efektor (sel plasma) dan sel memori, sedangkan limfosit T menghasilkan sel efektor (limfosit T teraktivasi) dan sel memori. Limfosit B menghasilkan antibody, limfosit T teraktivasi menghasilkan limfokin yang penting dalam respon imun humoral. Sel memori adalah hasil pembelahan yang tidak berdifferensiasi menjadi sel efektor. Apabila dikemudian hari sel memori tersebut terdedah oleh antigen yang sama, rentetan proses yang sama akan terulang lagi termasuk pembentukan sel memori dan sel efektor. Rentetan proses perubahan yang baru pertama kali dinamakan respon imun primer dan yang berikutnya dinamakan respon imun sekunder.
Penyuntikan antigen (misalnya vaksinasi) ke dalam tubuh hewan atau manusia dengan dosis tunggal akan membangkitkan produksi antibody yang spesifik terhadap antigen tersebut di dalam serum darahnya setelah beberapa saat. Segera setelah penyuntikan tersebut merupakan periode laten atau priode induktif oleh karena belum dapat ditunjukkan adanya antibody. Pada periode ini masih berlangsung perubahan-perubahan seluler (pengenalan, transformasi sel, pembelahan dan diferensiasi). Periode ini disusul dengan periode biosintesis antibody yang dibedakan dalam tiga fase, yaitu : (i) fase logaritmik, terjadi kenaikan kadar antibody hingga mencapai kadar puncaknya, (ii) periode datar, dimana tidak ada lagi kenaikan kadar antibody. Dan (iii) fase penurunan, dimana kadar antibody mengalami penurunan. Bila dilakukan penyuntikan kedua secara tepat, maka produksi antibody lebih banyak dibandingkan yang pertama.
Respon imun humoral terutama untuk menghadapi antigen yang bersifat soluble, sedangkan respon imun seluler terutama menghadapi antigen yang terdapat pada permukaan sel, misalnya respon imun seluler berlangsung terhadap sel tumor, prasit, jamur, sel tubuh yang terinfeksi virus atau mikroorganisme atau terhadap jaringan cangkok yang berbeda latar belakang genetiknya
Proses penolakan jaringan cangkok
Dalam tempo 2-3 hari setelah pencangkokan kulit, terjadilah anastomosis pembuluh limfe dan darah dari jaringan cangkok dan jaringan inang. Dengan demikian sel-sel cangkok dapat mencapai jaringan limfoid (limpa, tonsil, dan kelenjar limfe, dan kelenjar timus), sehingga dapat membangkitkan respon imun. Respon imun timbul akibat kontak antara sel-sel cangkok yang masih hidup (untuk cangkok kulit khususnya sel langerhans) dengan limfosit T inang. Apabila sel-sel cangkok mencapai jaringan limfoid, maka limfosit T akan mengenali antigen pada permukaan sel cangkok yang dikenal dengan molekul Major histocompatibility compleks atau MHC ( Dikenal ada dua MHC, yaitu MHC Kelas I dan II. MHC kelas I dijumpai pada permukaan semua sel yang berinti, sedangkan MHC kelas II terdapat pada beberapa jenis sel seperti limfosit B dan makrofag). sebagai antigen. Pengenalan ini menyebabkan terbentuknya sel-sel efektor. Sel-sel efektor limfosit T selanjutnya meninggalkan jaringan limfoid melalui peredaran darah dan mencapai jaringan cangkok. Pada jaringan cangkok, sel-sel efektor menemukan antigen penyebab sensitisasi sehingga terjadi aktivitas sitotoksik pada jaringan cangkok oleh sel-sel CTL disertai pelepasan berbagai jenis limfokin. Akibatnya jaringan cangkok akan mengalami kerusakan yang diikuti dengan berkumpulnya sel-sel makrofag sebagai sel pembersih jaringan yang telah mati. Proses ini mencerminkan penolakan jaringan cangkok oleh tubuh karena dilihat sebagai sesuatu yang asing atau antigen.
.